
KabarAnambas.com TanjungPinang – Kecelakaan di Karimun yang menewaskan seorang pengendara bermotor berakhir restorative justice.
Keputusan menghentikan proses penuntutan perkara lakalantas di Karimun itu setelah Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Teguh Subroto, S.H., M.H ekspos perkara tersebut kepada Direktur Tindak Pidana Orang dan Harta Benda (OHARDA) pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Nanang Ibrahim Soleh, S.H., M.H., secara virtual.
Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara, Fauzal, S.H., M.H; Kabag TU Kejati Kepri, Arief Syafrianto, S.H., M.H; Kasi Oharda, Kasi Narkotika, Kasi Terorisme dan Lintas Negara pada Bidang Tindak Pidana Umum dan Kasi Penerangan Hukum Kejati Kepri mendampingi Kajati Kepri saat ekspos tersebut.
Dalam perkara kecelakaan di Karimun yang ditangani Kejari Karimun itu sebelumnya menyeret Supriyanto sebagai tersangka.
Sopir truk itu sebelumnya melanggar Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan petunjuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri Karimun akan segera memproses penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) yang berdasarkan Keadilan Restoratif Justice,” ujar Kajati Kepri melalui Kasi Penkum Kejati Kepri, Yusnar Yusuf, S.H., M.H dalam keterangan yang diterima media ini, Senin (23/9/2024).
Ia menambahkan upaya restorative justice ini sebagai perwujudan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, kemudian melaporkan secara berjenjang ke Kejati Kepri dan Kejaksaan Agung.
Perkara ini berawal pada Rabu, 17 Juli tahun 2024 sekira pukul 10.45 WIB.
Ketika itu, Supriyanto mengendarai truk dengan nomor polisi BP 9506 KU dari daerah Baran Kecamatan Meral menuju ke arah Pelabuhan Roro Kabupaten Karimun dengan kecepatan lebih dari 60 Km/jam.
Sebelum sampai di simpang tiga Pelabuhan Roro, tepatnya di Jalan Sei Raya, tersangka menghindari seorang wanita yang hendak menyeberang menggunakan satu unit sepeda motor Honda Scoopy dengan nomor polisi BP 2105 PD dari simpang jalan menuju ke arah Baran Kecamatan Meral.
Karena jarak kendaraan yang dikemudikan Supriyanti dengan sepeda motor tersebut hanya berjarak dua meter, Supriyanto langsung berbelok ke kanan tanpa menghidupkan kode isyarat lampu sein.
Ia juga terbukti tidak membunyikan klakson kendaraan dan tanpa melakukan pengereman.
Sehingga truk yang ia kemudikan keluar jalur ke arah berlawanan.
Tak sampai di sana, kendaraan yang ia bawa juga melanggar marka garis lurus hingga kecelakaan tak dapat terhindarkan.
“Tersangka dan satu unit truk yang ia kendarai langsung masuk ke jurang sebelah kanan bahu jalan. Sedangkan seorang wanita yang mengendarai Honda Scoopy tertabrak dan terpental di atas aspal,” ungkapnya.
Akibat kecelakaan tersebut membuat seorang wanita yang bernama Marlina selaku korban terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Hasil visum di RSUD Muhammad Sani mengungkap pengendara perempuan yang masih berumur 18 tahun itu meninggal dunia akibat sejumlah luka yang ia alami.
Kasi Penkum Kejati Kepri mengatakan jika ada 6 hal yang melatarbelakangi restorative justice ini mendapat persetujuan.
Mulai dari tindak pidana dilakukan karena kelalaian serta telah ada kesepakatan perdamaian antara keluarga korban dan tersangka.
Tersangka dilaporkan belum pernah dihukum serta baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Selain itu, kesepakatan perdamaian dilaksanakan tanpa syarat dimana ke dua belah pihak sudah saling memaafkan.
Pertimbangan sosioligis dan masyarakat merespons positif penghenian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan,” sebut dia.
Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau melakukan penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif.
Serta menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan, kepentingan korban, maupun pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan.
Ini merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan dengan memperhatikan azas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Dalam rangka menciptakan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Melalui kebijakan Restorative Justice ini, diharapkan tidak ada lagi masyarakat bawah yang tercederai oleh rasa ketidakadilan.
“Meskipun demikian perlu juga untuk digaris bawahi bahwa keadilan restoratif bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku pidana untuk mengulangi perbuatan pidana,” tutupnya. ( F )